HADIST DHA'IF
Di Ajukan untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Ulumul Hadist
Dosen Pembimbing: MUHLISIN MP.d
Disusun oleh :
1.
Abdul
Aziz Efendi
PROGRAM
STUDI
MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM (MPI)
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) AS-SHIDDIQIYAH
LEMPUING JAYA
TAHUN
AKADEMIK 2018/2019KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kami kemampuan dalam
menyelesaikan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai salah
satu sifat hadits yaitu hadits dha’if
atau hadits yang bersifat lemah.
Makalah ini pasti
memiliki kekurangan didalamnya. Adapun harapan penulis agar pembaca dapat
memberikan saran dan kritiknya pada makalah ini, karena hasil tulisan penulis
tidak terlepas dari kesalahan, seperti kesalahan dalam penulisan ataupun yang
lainnya. Untuk itu penulis memohon maaf jika terjadi kesalahan dalam penulisan
ataupun kesalahan lainnya, karena penulis adalah manusia biasa yang
memiliki keterbatasan kemampuan.
Lubuk
seberuk
Penulis
Di Ajukan untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah ilmu pendidikan islam
Dosen Pembimbing: SLAMET, M.Pd
Disusun oleh :
1.
Abdul
Aziz Efendi
2.
Desta
puspita sari
3.
Jujun
junaidi
4.
Junaidi
PROGRAM
STUDI
MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM (MPI)
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) AS-SHIDDIQIYAH
LEMPUING JAYA
TAHUN
AKADEMIK 2018/2019
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
.................................................................................. i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar
Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan
.................................................................................................. 1
D. Manfaat................................................................................................. 1
BAB II : PEMBAHASAN............................................................................. 2
A. Pengertian Hadits dha’if....................................................................... 2
B. Kedudukan dalam
hukum islam.......................................................... 5
C. Pendapat ulama dalam Hadits dha’if................................................... 6
D. Macam-macam
Hadits dha’if .............................................................. 11
BAB III : PENUTUP........................................................................................ 15
A. Kesimpulan........................................................................................... 15
B. Saran
.................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang
pokok banyak
mengandungayat-ayat yang bersifat global. Oleh karena itu kehadiran hadits berfungsisebagi
penjelas dari ayat ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadits umat islam
tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum yang
terkandungdi dalam Al Quran secara mendalam.Hadits mempunyai fungsi dan
kedudukan begitu besar namun hadits
tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah di tulis pada zaman Nabi dan
dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan hadits
baru ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-2)
Dengan seiring perkembangan zaman banyak sekali hadits-hadits yang
muncul. Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian hadits.
Diketahui bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if.Pada makalah
ini akan dibahas tentang hadits dhoif.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan materi tentang
hadits dhoif ini, ada beberapa rumusanmasalah yang harus diselesaikan
diantaranya:
1. Apa itu hadits dho’if?
2.
Bagaimana
kedudukan hadits dho’if dalam hukum islam ?
3.
Bagaimana
pendapat ulama mengenai penggunaan hadits dho’if?
4.
Apa
saja macam-macam hadits dho’if?
C.
MANFAAT
Adapun manfaat dari pembuatan
makalah ini yaitu:
Memberikan pengetahuan kepada
pembaca mengenai hadits dha’if,
klasifikasi hadits dha’if, dan
macam-macam hadits dha’if berdsarkan
cacat rawinya.
D.
TUJUAN
Tujuan dari pembahasan materi
tentang hadits dhoif ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui
pengertian hadits dhoif.
2.
Mengetahui
sebab-sebab hadits dhoif menjadi tertolak termasuk juga kriteria mengapa
disebut sebagai hadits dhoif.
3.
Dapat
membedakan macam-macam hadits dhoif..
4.
Mengetahui
kehujjahan hadits dhoif.
5.
Mengetahui
kitab-kitab yang di dalamnya memuat hadits dhoif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HADITS DHO’IF
Secara etimologi,
kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah,
lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini,maka yang
dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak
kuat .[1]
Secara terminologi, terdapat perbedaan rumusan di antara
para ulama dalam mendefinisikan hadits dho’if ini. Tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya
adalah sama. Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat di bawah ini.
Contoh
hadits dhaif
TENTANG PUASA ITU SETENGAH DARI KESEHATAN
…
وَالصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ وَالطُّهُورُ نِصْفُ الْإِيْمَانِ
“Puasa itu setengah
kesabaran dan kesucian itu setengahnya iman”.
Dhaif. Hadits ini
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 3519 dalam Kitab ad-Dâ’awât, juga
diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad beliau rahimahullah (4/260 dan 5/363)
lewat jalur periwayatan Juraisy an-Nahdy dari seorang laki-laki bani (suku)
Sulaim.
Sanad hadits ini
dha’if, karena Juraisy bin Kulaib ini adalah seorang yang majhûl (tidak
dikenal), sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Madini rahimahullah (lihat,
Tahdzîbut Tahdzîb, 2/78 karya Ibnu Hajar rahimahullah).
TENTANG
TIDUR DAN DIAMNYA ORANG YANG BERPUASA
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلَى فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa itu tetap dalam kondisi
beribadah meskipun dia tidur di atas kasurnya”. [HR Tamâm]
Sanad
hadits ini dha’if, karena dalam sanadnya terdapat Yahya bin Abdullah bin Zujâj
dan Muhammad bin Hârûn bin Muhammad bin Bakar bin Hilâl. Kedua orang ini tidak
ditemukan keterangan tentang jati diri mereka dalam kitab Jarh wat Ta’dil
(yaitu kitab-kitab yang berisi keterangan tentang cela atau cacat atau pun
pujian terhadap para rawi). Ditambah lagi, dalam sanad hadits ini terdapat
perawi yang bernama Hâsyim bin Abu Hurairah al Himshi. Dia seorang perawi yang
majhûl (tidak diketahui keadaan dirinya), sebagaimana dijelaskan oleh
adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab beliau rahimahullah Mizânul I’tidâl. Imam
Uqaili rahimahullah mengatakan, “Orang ini haditsnya mungkar.
An-Nawawi
mendefinisikannya dengan :
“Hadits yang
didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat- syarat
hadits hasan.”
Ulama lainnya
menyebutkan bahwa hadits dho’if ialah :
“Hadits yang
didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul.”
Sedangkan yang dimaksud Hadits Maqbul di sini adalah hadits yang
diterima, yaitu sempurna padanya syarat-syarat diterimanya.
Menurut
Nur Ad-Din ‘Atr definisi hadits dhoif ialah
:
“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits
yang shahih atau hadits yang hasan).”
Pada
definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat
saja(dari persyaratan hadits shahih atau hadits hasan hilang, berarti hadits itu
dinyatakan sebagai hadits dho’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau
tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, dan adanya kejanggalan dalam matan.
Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits dho’if yang sangat lemah.
Selain
itu, Ibnu Shalah memberikan definisi hadits dho’if ialah :
“Yang
tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin
Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnya
dihindarkan, menurut dia cukup :
“Yang
tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena
sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih.Drs. Fatkhur Rahman memberikan definisi
hadits dho’if ialah:
“Hadits
yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat
hadits shahih atau hadits hasan”
Para
ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
“Hadits
dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga
tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
DR.
Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Batasannya yang
paling tepat adalah hadits yang padanya tidak terdapat
ciri-ciri hadits shahih atau hasan.
Berdasarkan definisi rumusan
di atas, dapat kita pahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu
syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan, maka hadits tersebut dapat
kita kategorikan sebagai hadits dho’if .
B.
KEDUDUKAN DALAM HUKUM ISLAM
[2]Sebagaimana kita ketahui bahwa
hadits merupakan dasar hukum islam yang kedua
setelah Al-Qur’an. Hadits dari segi kualitasnya terbagi atas tiga, yaitu Hadits
Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits
Dho’if.Berdasarkan dari pendapat DR. Subhi As-Shalih pada sub-materi
sebelumnya, hadits dho’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits.Oleh
karena itu, bagi ulama yang memperbolehkan untuk menggunakan hadits dho’if,
apabila suatu hal tertentu tidak ditemukan pada hadits shahih dan hadits hasan sementara hal tersebut ditemukan pada hadits dho’if, maka yang
digunakan adalah hadits dho’if karena hadits dho’if mempunyai derajat yang lebih
tinggi dari pendapat seorang ulama.[3]
Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan hadits dho’if dilihat dari segi
kualitasnya walaupun berada setelah hadits shahih dan hadits hasan,
akan tetapi mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat para ulama.
C.
PENDAPAT
ULAMA TENTANG HADITS DHO’IF
Pendapat
para ulama dalam hal penggunaan Hadits Dho’if terbagi atas tiga mazhab, yaitu :
1.
Mazhab pertama, mereka mengatakan bahwa hadits dho’if boleh
diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab
tersebut. Pendapat ini dipilih oleh beberapa ulama seperti Imam
Ahmad, Abu Dawud dan
lain-lain.Yang dimaksud dengan hadits dho’if di sini adalah hadits yang kadar kedho’ifannya
tidak parah -- karena sudah jelas bahwa hadits yang keadaannya demikian
pasti ditinggalkan oleh para ulama -- dan juga tidak ada hadits lain yang
menyelisihinya.
Adanya kemungkinan bahwa hadits yang dinilai dho’if tersebut
mengandung kebenaran sementara tak ada hadits lain yang menyelisihinya,maka
hal ini menjadi alasan kuat bahwa hadits tersebut memiliki kemungkinan shahih
sehingga boleh diamalkan.Al-Hafizh Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad bin Sa'd Al Bawardi berkata: "Konsep yang dipakai oleh Imam Nasa'i adalah bahwa
beliau menyebutkan setiap hadits yang tidak ada kesepakatan – dari
paraulama -- untuk meninggalkannya". Ibnu Mandah menambahkan,
"Demikian pula Abu Dawud menyetujui pendapat tersebut. Beliau menyebutkan
riwayat-riwayat lemah (dho’if) jika tidak ditemukan hadits lain dalam suatu bab
karena hadits tersebut dianggapnya lebih kuat daripada pendapat murni
seseorang".Mazhab ini juga diikuti oleh Imam Ahmad, beliau mengatakan: "hadits
dho’if lebih aku sukai dari pada pendapat pribadi
seseorang", karena beliau
tidak beralih kepada Qiyas kecuali setelah dipastikan bahwa benar-benar tidak ada
nash.Beberapa ulama mentakwilkan riwayat-riwayat tersebut dengan
mengatakan bahwa yang dimaksud hadits dho’if tersebut bukanlah hadits-hadits dho’if menurut istilah Ilmu
Hadits melainkan yang dimaksud adalah hadits hasan,karena
hadits tersebut bermakna lemah (dho’if) dibandingkan hadits shahih.Akan tetapi,
takwil tersebut bermasalah sebagaimana dikatakan oleh ImamAbu Dawud: "ada
beberapa hadits dalam kitabku, As-Sunan yang sanadnya
tidak tersambung (terputus), yaitu mursal dan mudallas, hal itu dikarenakan tidak adanya
hadits-hadits shahih pada (riwayat) para ahli hadits secara umum
yang bersambung (muttashil). Contohnya seperti riwayat Al-Hasan dari Jabir, Al-Hasan
dari Abu Hurairah, Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas…".
ImamAbu Dawud menganggap hadits yang tidak tersambung (sanadnya) boleh
diamalkan ketika tidak ditemukan hadits shahih, padahal sebagaimana
diketahui bahwasannya hadits munqathi' (terputus sanadnya) merupakan salah satu jenis hadits dho’if.
2.
Mazhab kedua,
mereka mengatakan bahwa beramal dengan hadits dho’if hukumnya mustahabb
(disukai) dalam hal keutamaan-keutamaan (fadhail). Ini adalah pendapat
mayoritas (Jumhur) Ulama ahli hadits, ahli fikih dan lain-lain.Imam Nawawi
mengatakan bahwa pendapat ini menjadi kesepakatan di antara para ulama,
demikian pula Syaikh Ali Al-Qari dan Ibnu Hajar Al-Haitami.
Menurut
Imam An-Nawawi kita boleh mempergunakan hadits yang dho’if untuk fadha
‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib,
yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu
(palsu).Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan
untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan
amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya
hadits hasan.
Ulama-ulama
hadits sepakat boleh mempergunakannya dalam bidang :
1. Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan
Amal)[4]
Yaitu hadits-hadits yang
menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang
sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait
dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa besar.
2. At-Targhiib (Memotivasi)
Yaitu hadits-hadits yang berisi
pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.
3.
At-Tarhiib
(Menakuti)
Yaitu hadits-hadits yang berisi
ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan
suatu perbuatan.
4.
Kisah-kisah Tentang Para
Nabi Dan Orang-Orang Sholeh
5.
Do’a
Dan Dzikir
Yaitu hadits-hadits yang berisi
lafazh-lafazh do’a dan dzikir.
Akan tetapi tidak semua hadits dho’if dapat digunakan, Al-Hafizh
Ibnu Hajar Asqalani menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi, berikut ini
cuplikan perkataan beliau
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengamalkan hadits dho’if ada
tiga: Pertama, telah disepakati, yaitu bahwa hadits dho’if tersebut tidak parah
kedho’ifannya. Oleh karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh seorang
pendusta(kazzab), atau orang yang tertuduh berdusta atau orang yang memiliki
kesalahan fatal tidak termasuk dalam kategori ini.
Kedua, hadits tersebut harus berada
dalam koridor Syariat Islam secara umum. Oleh karena itu, hadits yang sengaja dibuat-buat
padahal tidak memiliki dasar sama sekali dalam Syariat Islam
tidak dapat diterima.
Ketiga, ketika mengamalkan hadits tersebut tidak disertai
keyakinan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw,dengan
tujuan agar tidak terjadi penyandaran sesuatu yang tidak berasal
dari beliau". Ibnu Hajar Al-Haitami lebih mengarahkan pada
pengamalan hadits dho’if dalam masalah keutamaa-keutamaan
amal, beliau menyebutkan: "Para ulama telah bersepakat mengenai bolehnya mengamalkan hadits dho’if dalam hal
keutamaan-keutamaan amal, karena andaikan hadits tersebut ternyata benar keberadaannya
(shahih), maka dengan mengamalkannya berarti hak-hak hadits tersebut telah
terpenuhi. Kalaupun tidak demikian – terbukti dho’if -- maka hal tersebut tidak
akan menimbulkan pengaruh buruk apapun seperti menghalalkan atau mengharamkan
sesuatu atau hilangnya hak orang lain".
3.
Mazhab ketiga, mereka mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah
tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halaldan
haram. Pendapat ini diklaim sebagai pendapat Al-Qadhi Abu Bakr IbnulArabi.
Asy-Syihab
Al-Khafaji dan Al-Jalal Ad-Dawani juga berpendapat demikian.Beberapa penulis
kontemporer lebih cenderung memilih pendapat ini dengan alasan bahwa
perkara-perkara tersebut di atas sama hukumnya seperti halal dan haram karena
semuanya merupakan perkara syar'i. Lagi pula hadits-hadits shahih dan hasan
sudah mencukupi dan tidak diperlukan lagi hadits dho’if.
Demikianlah, permasalahan ini mengundang banyak polemik dan perdebatan-perdebatan. Kendatipun demikian, tampak bahwa pendapat yang bersifat paling menengahi di antara mazhab-mazhab tersebut adalah pendapat
kedua.
Hal itu dikarenakan menimbang
persyaratan-persyaratan yang ditetapkan
oleh para ulama dalam masalah beramal dengan
hadits dho’if tersebut yang menunjukkan bahwa hadits dho’if
yang menjadi perdebatan di sini bukanlah hadits yang divonis palsu, melainkan hadits yang
belum jelas kemungkinan kebenarannya (validitas) sehingga masih
menyisakan peluang, dan peluang ini dapat diselesaikan ketika tidak ditemukan
hadits lain yang menentangnya
atau jika hadits tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sehingga dibenarkan beramal
dengan hadits
tersebut demi menjaga hak-haknya, tetapi dengan harus
memiliki dasar dalam syariat islam sebelumnya.
Adapun anggapan
sebagian orang yang mengatakan bahwa beramal dengan hadits dho’if dalam masalah
fadhail adalah sama dengan menciptakan ibadah baru dan membuat aturan baru
dalam agama yang tidak direstui oleh Allah swt, maka hal itu telah dijawab oleh para ulama,
mereka mengatakan bahwa diutamakannya beramal adalah sejalan dengan
prinsip-prinsip dasar Islam yang menganjurkan beramal demi menjaga (berhati-hati) dalam masalah agama.Beramal
dengan hadits dho’if termasuk dalam kategori ini, dengan demikian
tak terdapat penambahan apapun dalam syariat Islam.
Menurut pandangan DR. Nuruddin 'Eter, seseorang yang mengamati persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama tersebut menafikan
adanya peluang untuk menambah hal-hal baru dalam syariat. Hal itu
tampak jelas dari syarat mereka bahwa sebuah hadits dho’if
diharuskan tidak keluar dari koridor syariat dan prinsip-prinsip syar'i yang
sudah baku secara umum.
Oleh karena itu,
status hukum asal hal ini adalah legal menurut hukum syar'i, baru kemudian muncullah hadits dho’if tersebut yang tidak bertentangan dengan
syariat.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, sebagai berikut:
Abu Ahmad al’Marrar bin Hammuyah mengabarkan kami, ia berkata:Muhammad bin Mushaffa mengabarkan kami, ia berkata: Baqiyyah bin Al-Walid
mengabarkan kami dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi'dan dari Abu Umamah dari
Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda: "Barang siapa yang mendirikan
shalat pada dua malam hari raya dengan mengharapkan
ridha Allah,maka hatinya takkan mati di saat hati-hati yang lain sedang
mati".
Pada sanad tersebut,
para perawi adalah Tsiqat, kecuali Tsaur bin Yazid, ia dituduh dengan tuduhan bid'ah Qadariyah. Akan tetapi dalam hal ini ia
meriwayatkan hadits yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebid'ahannya
tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap hadits nya. Muhamad bin
Mushaffaadalah seorang yang sangat jujur (Shaduq), ia banyak meriwayatkan hadits
sehingga Ibnu Hajar memberikan label "Hafizh" kepadanya. Adz-Dzahabi berkomentar bahwa ia adalah seorang tsiqah masyhur (sangat terpercaya dan populer), akan tetapi dalam riwayat-riwayatnya terdapat riwayat yang munkar.Dalam
sanad tersebut juga terdapat Baqiyyah bin Al-Walid, dia termasuk diantara
jajaran para imam huffahz yang sangat jujur. Akan tetapi ia sering sekali melakukan
tadlis (pengaburan) dari para perawi lemah (dho’if).
Imam Muslim menukil riwayatnya hanya sebagai penguat saja (mutaba'ah). Sementara dia(Baqiyyah)
tidak menyebutkan secara terus terang bahwa ia benar-benar telah mendengar
hadits tersebut, sehingga hadits tersebut dianggap dho’if.
Para ulama berpendapat bahwa
menghidupkan dua malam hari raya, baik dengan berzikir maupun
ibadah-ibadah lainnya hukumnya sunnah (mustahab)sesuai dengan hadits dho’if ini, karena hadits dho’if boleh diamalkan
dalam hal keutamaan-keutamaan amal sebagaimana disebutkan oleh Imam
Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa qiyamullail (shalat pada malam
hari)dan mengisi malam tersebut dengan ibadah adalah sesuai anjuran agama
sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang mutawatir.Mendekatkan
diri kepada Allah dengan cara berdoa, berzikir dan lain sebagainya adalah
perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat, termasuk dua malam hari
raya.Di sini tampak jelas bahwa hadits tersebut tidaklah membawa ajaran
baru,melainkan membawa sesuatu yang bersifat parsial yang sejalan dengan
prinsip- prinsip Syariat dan teks-teks
syar'I secara umum
sehingga tidak diragukan lagi bahwa
beramal dengan hadits tersebut hukumnya adalah boleh.
D. MACAM – MACAM HADITS DHO’IF
Berdasarkan penelitian para ulama
hadits, bahwa kedho’ifan suatu
hadits bisa terjadi pada tiga tempat,
yaitu pada sanad,
matan dan pada perowi hadits.Dari bagi ketiga ini, lalu
mereka membagi hadits ke dalam beberapa macamhadits dho’if.[5]
1.
Dho’if
ditinjau dari segi persambungan sanad.
Hadits yang tergolong dalam
kelompok ini, diantaranya:
a)
Hadits
Mursal
Hadits
mursal adalah hadits yang disandarkan langsung oleh tabi’in pada Rosulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
taqrirnya, tabi’in yang di maksud bisa tabi’in kecil ataupun besar.Pada
dasarnya hukum hadits mursal adalah dho’if dan ditolak. Hal tersebut karena
kurangnya (hilangnya) salah satu syarat ke-shahih-an dansyarat diterimanya
suatu hadits, yaitu persambungan sanad. Selain itu juga tidak dikenalnya
tentang keadaan perawi yang dihilangkan tersebut, sebab boleh jadi perawi yyang dihilangkan tersebut adalah bukan
sahabat. Dengan adanya kemungkinan demikian, maka ada kemungkinan hadits
tersebut adalah dho’if.
b)
Hadits
Munqothi
’Hadits
munqothi’ adalah hadits yang gugur pada sanadnya
seorang perawi atau pada sanad tersebutkan seseorang yang tidak dikenal
namanya. Tetapi kebanyakan ulama hadits menggunakan istilah Munqothi’ secara
umum, meliputi setiap hadits yang terputus sanadnyaseperti hadits mursal,
mu’dhal, dan mu’allaq.
c)
Hadits
Mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang
gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.
Dengan pengertian diatas, menunjukkan bahwa hadits mu’dhal berbeda dengan hadits munqothi’.
Pada hadits mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut.
Sedangkan pada hadits munqothi’, gugurnya dua orang perawi, terjadisecara
terpisah ( tidak berturut-turut).
d)
Hadits
Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang dihapus dari
awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.
Hadits mu’allaq hukumnya adalah mardud (tertolak), karena tidak terpenuhinya
salah satu syarat qabul , yaitu persambungan sanad, yang dalam hal ini
adalah dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari sanadnya, sementara
keadaan perawi yang di hapuskan tersebut tidak diketahui.
e)
Hadits mudallas
Kata “Mudallas” secara etimologi diambil
dari kata “dals” yang berarti “bercampurnya
gelap dan terang”,
dan kata itu digunakan untuk menyebut sebuah hadits yang didalmnya mengandung unsur-unsur kesamaan
dengan unsur-unsur yang dikandung oleh makna kata tersebut.Sedang pengertian
hadits mudallas menurut terminologi ialah hadits yangdisamarkan oleh rawi
dengan berbagai macam penyamaran.
Hadits mudallas ada dua macam yaitu:
-
Tadlisu
Al Sanad Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari orang
yangsatu masa dengannya, namun disebutkan seolah-olah dia benar- benar
mendengar darinya, agar hadits tersebut dipandang baik.
-
Tadlisu
Al Syuyuukhi
Yaitu meriwayatkan hadits yang didengarnya dari seorang guru,namun dia menyebut nama gurunya itu dengan menggunakansebutan
yang tidak populer misalnya dengan menggunakan namakuniahnya, nisbatnya atau sifatnya
dengan pertimbangan agar tidak di ketahui dengan jelas identitas gurunya yang lemah, sehingga
tertutupi kelemahannya.
2.
Dho’if
ditinjau dari segi cacatnya perawi.
Yang dimaksud dengan cacat pada perawi adalah terdapatnya
kekurangan atau cacat pada diri perawi, baik dari segi keadilannya, agama,atau
dari segi ingatan, hafalan, dan ketelitiannya.Cacat yang berhubungan dengan
keadilan perawi diantaranya
adalah berbohong, dituduh berbohong, fasik, berbuat bid’ah dan tidak diketahui
keadaanya.
Cacat yang
berhubungan dengan ingatan dan hafalan adalah sangat keliru/ sangat dalam kesalahannya, buruk hafalannya, lalai, banyak prasangka
dan menyalahi perawi yang tsiqah.
Macam-macam hadits dho’if berdasarkan cacat yang dimiliki oleh perawinya yaitu:
a.
Hadits
Matruk
Hadits Matruk adalah hadits yang perawinya mempunyai cacattertuduh
dusta, pembohong atau pendusta
b.
Hadits
Munkar
Hadits
munkar adalah hadits yang terdapat pada sanadnya
seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali lalai dan terlihat
kefasikannya secara nyata.
c.
Hadits Mu’allalHadits
Mu’allal adalah hadits yang perawinya cacat karena al-wahm,
yaitu banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.
d.
Hadits Mudroj
Hadits
mudroj adalah hadits yang terdapat tambahan yang bukan dari hadits tersebut.
e.
Hadits
Maqlub
Hadits
maqlub adalah hadits yang mengganti suatu lafadz dengan lafadz yang lain pada
sanad hadits atau pada matannya dengan cara mendahulukan atau mengakhirkannya.
f.
Hadits
Mudhorib
Hadits
mudhorib adalah hadits yang diriwayatkan dalam
beberapa bentuk yang berlawanan yang masing-masing sama-sama
kuat.
g.
Hadits Mushoffaf
Hadits mushoffaf adalah mengubah kalimat
yang terdapat padasuatu hadits menjadi kalimat yang tidak diriwayatkan
oleh para perawi yang tsiqoh, baik secara lafadz maupun maknanya.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Setelah
memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun dapat menyimpulkan:
1. Secara etimologi,
kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang Berarti lemah, dan yang
dimaksud hadits dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah
atau tIdak kuat.
Secara terminologi, di antara para ulama
terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dho’if ini. Akan tetapi,
pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama yaitu hadits yang hilang
salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul.
2.
Kedudukan
hadits dho’if dalam hukum islam yaitu berada setelah hadits shahih dan hadits hasan.
3.
Terdapat 3 madzhab pendapat para ulama mengenai pengamalan hadits
dho’if, yaitu
a)
Mazhab Pertama mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan
secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan
syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut.
b)
Mazhab
kedua mengatakan mempergunakan hadits yang dho’if untuk fadha ‘ilul
a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu
sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu(palsu). Imam An-Nawawi
memperingatkan bahwa di perbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan
hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya
telah ditetapkan olehhadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
c)
Mazhab
ketiga mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah tidak boleh
secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram.
4.
Berdasarkan
ke-dho’if-an suatu hadits, maka hadits dho’if terbagi atas :
a)
Dho’if ditinjau
dari segi persambungan sanadnya : Hadits Mursal,Hadits
Munqothi, Hadits Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas
b)
Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi : Hadits Matruk, Hadits
Munkar, Hadits Mu’allal, Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, HaditsMudhorib,
Hadits Mushoffaf, dan Hadits Syadz.
B.SARAN
Saran
yang dapat kami berikan terkait pembahasan Hadots Dho’if ini adalah:
1. Bagi pembaca diharapkan dapat
membedakan hadits dho’if dengan haditslainnya.
2.
Untuk
lebih memahami mengenai hadits dho’if, diharapkan pembaca dapat mencari lebih
banyak lagi informasi dari berbagai sumber
DAFTAR PUSTAKA
https://www.scribd.com/doc/105635183/MAKALAH-Hadits-Dho-if
(diakses pada tanggal 1 november 2018)
http://www.sarjanaku.com/2011/11/hadits-dhaif-pengertian-macam-macam.html
(diakses pada tanggal 1 november 2018 )
https://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2017/06/07/118164/jangan-remehkan-hadits-dhaif.htm
(diakses pada tanggal 3 desember 2018
http://www.nu.or.id/post/read/85243/macam-macam-hadits-dhaif-1(diakses
pada tanggal 3 desember 2018
[1]
http://www.sarjanaku.com/2011/11/hadits-dhaif-pengertian-macam-macam.html
(diakses pada tanggal 1 desember 2018)
[2]
https://www.scribd.com/doc/105635183/MAKALAH-Hadits-Dho-if
(diakses pada tanggal 1 november 2018)
[3]
http://www.sarjanaku.com/2011/11/hadits-dhaif-pengertian-macam-macam.html
(diiakses pada tanggal 1 desember 2018)
[4]
https://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2017/06/07/118164/jangan-remehkan-hadits-dhaif.htm
(diakses pada tanggal 3 desember 2018
[5]
http://www.nu.or.id/post/read/85243/macam-macam-hadits-dhaif-1(diakses
pada tanggal 3 desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar