MAKALAH
PERKEMBANGAN
ILMU FIQIH
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu
: Mukhlisin, M. Pd
Disusun oleh
Kelompok :
1.
Dewi Rahayu Hazizah
2.
Siti Nur Aida
3.
Ahmad Yasin
4.
Ali Faturrahman
5.
Jujun Junaidi
PROGRAM STUDI
MANAJEMEN PENDIDIKAN
ISLAM (MPI)
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAI) AS-SHIDDIQIYAH
LEMPUING JAYA
TAHUN 1440 H /
2018 M
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kesegenap isi alam. Dengan rahmat tersebut, penulis
dapat menyelesaikan makalah ilmu fiqih yang berjudul “PERKEMBANGAN ILMU FIQIH” ini.
Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Dosen Pengampu mukhlisin, M.Pd, selaku pembimbing selama pembuatan
makalah berlangsung, dan kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung
pembuatan makalah ini.Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua agar kita semua dapat memahami, mengerti, dan mengetahui tentang
perkembangan ilmu fiqih yang ada di negara kita.
Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi penulis.
Lubuk Seberuk, September 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
..................................................................................................... 1
DAFTAR ISI..................................................................................................................... 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG.....................................................................................
3
1.2 RUMUSAN MASALAH................................................................................
3
1.3 TUJUAN..........................................................................................................
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PERIODE
RASULULLAH............................................................................. 4
2.2 PERIODE
SAHABAT..................................................................................... 7
2.3 PERIODE
IMAM MUJTAHID dan PEMBUKUAN ILMU FIQIH.............. 8
2.4 PERIODE
KEMUNDURAN .......................................................................... 8
2.5 PERIODE
KEBANGUNAN KEMBALI........................................................ 10
BAB III
PENUTUP
3.I KESIMPULAN
................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Fiqih merupakan
salah satu disiplin ilmu islam yang bisa menjadi teropong keindahan dan
kesempurnaan islam. Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha
menunjukkan betapa islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas
dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqih dan prinsip-prinsip syariah
yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lima aksioma yakni: Agama, akal, jiwa,
harta, dan keturunan, menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan
tujuan yang jelas sehingga layak untuk exis sampai akhir zaman.
Sejarah
perkembangan fiqih sebenarnya telah ada bersamaan dengan lahirnya ushul fiqih.
Sebab fiqih sesungguhnya adalah hasil dari istinbat dari dalilnya (baik
Al-qur’an maupun assunah) yang dilakukan para mujtahid dengan ijtihadnya. Ijtihad
tersebut merupakan sarana istinbat dan mempunyai beberapa metode yang
tanda-tandanya ditunjukkan oleh qur’an dan hadist. Proses ijtihad dalam islam
bukan merupakan proses penetapan atau pembuatan hukum tetapi pengungkapan hukum
Allah akan tetap lestari dan berkembang sepanjang masa.
Fiqih diarahkan
untuk memperbaiki aqidah karena yang benar inilah yang menjadi pondasi dalam
hidup. Oleh sebab itu kita bisa memahami apabila rasulullah saat itu memulai
dakwahnya dengan mengubah keyakinan masyarakat yang musyrik menuju masyarakat
yang beraqidah tauhid, membersihkan hatidan menghiasi diri dengan al-akhlaq
al-karimah.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana perkembangan ilmu fiqih itu?
1.3
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui
lebih luas tentang perkembangan fiqh.
2.
Menambah wawasan bagaimana
keadaan fiqih dari periode Rasulullah S.A.W. dan sumber hukum pada masa itu.
3.
Mengetahui faktor
periode kemunduran dan kebangkitan kembali
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PERIODE RASULULLAH
1.
Masa Mekkah dan Madinah
Periode ini dimulai
sejak diangkatnya Muhammad S.A.W. menjadi Nabi dan Rasul sampai wafatnya.
Periode ini singkat. Hanya sekitar 22 tahun dan beberapa bulan saja. Akan
tetapi, sangat menentukan. Pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu fiqh selanjutnya besar sekali. Masa
Rasulullah inilah yang mewariskan sejumlah nash-nash
hukum baik dari Al-Qur’an maupun Al-Sunnah, mewariskan prinsip-prinsip
hukum islam baik yang tersurat dalam dalil-dalil kulli maupun yang tersirat dari semangat Al-Qur’an dan Al-sunnah.
Periode Rasulullah
ini dibagi dua masa yaitu: masa Mekkah dan masa Madinah. Pada masa mekkah,
diarahkan untuk memperbaiki aqidah, Karena akidah yang benar inilah yang
menjadi fondasi dalam hidup. Olwh karenaitu, dapat kita pahamiapabila
Rasulullah pada masa itu memulai da’wahnya dengan mengubah keyakinan masyarakat
yang musyrik menuju masyarakat yang beraqidah tauhid, membersihkan hati dan
menghiasi diri dengan Al-Akhlak Al-Karimah, masa mekkah ini di mulai sejak
diangkatny Muhammad S.A.W. menjadi rasul sampai beliau hijrah ke madinah yaitu
dalam waktu kurang lebih selama dua belas tahun lebih.Di madinah, tanah air baru
bagi kaum muslimin/kaum di-muslimat, tanah air baru baik kaum muslimin-muslimat
bertambah banyak dan terbentuklah masyarakat muslimin yang menghadapi persoalan
baru yang membutuhkan cara pengaturan-pengaturan baik dalam hubungan antar
individu muslim maupun dalsm hubungannya dengan kelompok lain di lingkungan
masyarakat Madinah, seperti kelompok Yahudi dan Nasrani.Oleh karena itu, di
madinah disyariatkan hukum yang meliputi keseluruhan bidang ilmu fiqh.
2.
Sumber Hukum Masa Rasulullah
a.
Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah
sekaligus,berbeda dengan turunnya Taurat kepada Nabi Musa. Al-Qur’an turun
sesuai dengan kejadian/peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan
hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban
terhadap permintaan fatwa.[1]
Contoh kasus seperti: Larangan menikahi wanita musyrik.
Peristiwanya berkenaan dengan Martsad al-Ganawi
yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi wanita musyrikah, maka turun surah al-Baqarah ayat 221 yang artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
Musyrik sebelum mereka beriman”.
Adapun untuk memberi jawaban atau fatwa, misalnya arti dalam
surah-surah berikut:
·
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka
nafkahkan”.(al-Baqarah:215)
·
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid”.(Al-Baqarah:222)
·
Mereka bertanya kepadamu tentang harta rumpasan perang”.(Al-Anfal:1)
·
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang dihalalkan bagi
mereka”.(Al-Maidah:4)
·
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para
wanita,katakanlah: Allah memberi fatwa kepada mereka tentang wanita-wanita”.(An-Nisa:127)
Tugas Rasul yang
berkaitan dengan Al-Qur’an ini adalah menyampaikan, menjelaskan dan
melaksanakannnya, seperti dalam surah Al-Maidah ayat 67 yang artinya sebagai
berikut: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.Dan jika tidak kamu kerjakan berarti kamu
tidak menyampaikan Amanat-Nya”.
Bidang hukum yang
lebih terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah tentang bidang
al-Ahwal Asyakhshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan.
b.
Al-Sunnah
Seperti telah diuraikan dalam bab-bab
terdahulubahwaAl-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan
dalam Al-Qur’an. Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan
dalam perbuatan Rasulullah sendiri, atau dalam keputusan-keputusannya dan
kebijaksanaannya ketika menyelesaikan satu kasus, atau karena menjawab
pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan diamnya
Rasulullah sendiri, dalam menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak
langsung menunjukkan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut. Hal ini sesuai
dengan arti surah An-Nahl ayat 44: “Dan
kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada imat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka”.
Apabila wahyu tidak turun, beliau berijtihad. Bila mana
hasil ijtihadnya salah, maka di peringatkan oleh Allah bahwa ijtihadnya itu
salah, serta ditunjukkan yang benarnya dengan diturunkan wahyu. Apabila tidak
diperingatkan oleh Allah, maka ijtihadnya itu benar. Dari sisi ini jelas bahwa
hadist-hadist qath’i yang berkaitan dengan hukum itu bisa di pastikan adalah
penetapan dari Allah juga.
c.
Ijtihad Pada Masa Rasulullah
Ijtihad Rasulullah
dan pemberian izin kepada para sahabat untuk berijtihad memberikan hikmah yang
besar karena: “Memberikan contoh bagaimana cara beristinbat dan memberi latihan
kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum islam (para
fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahkan
masalah-masalah baru dengan mengembalikannaya kepada prinsip-prinsip yang ada
dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah”.[2]
Dalam hadist
dinyatakan bahwa: “Aku tinggalkan padamu
semua hal dua; kamu tidak akan sesat apabila berpedoman kepada keduanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.
2.2
Periode Sahabat
1.
Sumber Hukum
Pada
periode ini sahabat ada usaha yang positif yaitu mengumpulkan ayat-ayat
Al-Qur’an dalam satu mushaf. Maka beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah
kurma,kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat.
Kemudian kumpulan mushaf tersebut di perbanyak dan dibagikan ke daerah-daerah
islam yaitu ke Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah, dan Damaskus.Mushaf itulah yang
sampai kepada kita sekarang.
2. Ijtihad
Sahabat
Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama
dicari nash-nya dalam Al-Qur’an,
apabila tidak ada, dicari dalam Hadits, apabila tidak ditemukan baru berijtihad
dengan bermusyawarah di antara sahabat. Inilah bentuk ijtihad jama’i. Apabila
mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi
pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin Khatab misalnya
mempunyai dua cara musyawarah,yaitu: “Musyawarah yang bersifat khusus dan
musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan
para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan
masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun
musyawarah yang bersifat umum dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah Yang
dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting, seperti
kasus tanah di Irak yang dijadikan tanah Khardj[3].
Yang ditinggalkan oleh periode sahabat ini adalah:
a)
Penafsiran para
sahabat tentang ayat-ayat hukum.
b)
Sejumlah fatwa
sahabat dalam kasus-kasus yang tidak ada nash
hukumnya.
c)
Terpecahnya umat
menjadi tiga golongan yaitu Khawarji, Syiah, dan Jumhur Muslimin atau Ahlu
Sunnah Wal Jamaah.
Golongan khawarji
tidak mau menetapkan hukum berdasarkan Hadist yang diriwayatkan oleh Utsman,
Ali, Muawiyah dan yang diriwayatkan oleh para sahabat yang mendukung Ali atau
Muawiyah dan yang diriwayatkan oleh para sahabat yang mendukung Ali atau
Muawiyah. Demikian pula halnya Syiah, tidak mau menerima Hadist kecuali yang
diriwayatkan oleh Ahli Bait. Adapun Ahli Sunnah Wal Jama’ah mau menggunakan
semua Hadist yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya dan adil
tanpa membedakan salah seorang sahabat Nabi dengan sahabat Nabi lainnya.
Akhirnya dari
sejarah kita tahu bahwa masyarakat islam ternyata sanggup melampaui masa
krisisnya dan terus berkembang menuju puncak-puncak kemajuan di bidang ilmu,
termasuk di bidang fiqh.
2.3
Periode Imam Mujtahid dan Pembukuan Ilmu Fiqh
1.
Sumber Hukum
Ada dua hal yang penting tentang Al-Qur’an pada masa ini
yaitu: Menghafal Al-Qur’an dan memperbaiki tulisan Al-Qur’an dan memberi syakal
terhadap Al-Qur’an.
Adapun sebab berkembangnya ilmu fiqh dan gairahnya
berijtihad pada periode ini adalah:
1)
Wilayah Islam sudah
sangat meluas ke Timur sampai ke Tiongkok dan ke Barat sampai ke Australia (Spanyol sekarang)dengan
jumlah rakyatyang banyak sekali.
2)
Para ulama pada masa
itu lelah memiliki sejumlah fatwa dan cara berijtihad yang mereka dapatkan dari
periode sebelumnya.
3)
Seluruh kaum
muslimin pada masa itu mempunyai keinginan yanag keras agar segala sikap dan
tingkah lakunya sesuai dengan Syari’ah Islam baik dalam ibadah mahdah (muamalah dalam arti luas).
4)
Pada periode ini
memang dilahirkan ulama-ulama yang memiliki potensi untuk menjadi mujtahid.
2.
Yang Diwariskan oleh Periode ini Kepada Periode
Selanjutnya
1)
Al-Sunnah yang
telah dibukukan.
2)
Fiqh yang telah
dibukukan lengkap dengan dalil dan alasannya.
3)
Dibukukannya Ilmu Ushul Fiqh.
4)
Adanya dua aliran
yang menonjol pada periode ini yaitu yang terkenal dengan nama Madrasah
Al-Hadits kebanyakan terdapat di Hijaz dan Madrasah Ar-Ra’yu.
2.4
Periode Kemunduran
a. Faktor-faktor
yang Menyebabkan Kemunduran
1.
Kemunduran di
bidang politik, misalnya terpecahnya dunia islam menjadi beberapa wilayah kecil
yang masing-masing keamiran hanya sibuk saling berebut kekuasaan, saling
memfitnah, dan berperang sesama muslim yang mengakibatkan ketidak amanan dan
ketidak tentraman masyarakat muslim.
2.
Dengan dianutnya
pendapat mazhab tanpa pikiran yang kritis serta dianggapnya sebagai sesuatu
yang mutlak benar,menyebabkan orang tidak mau meneliti kembali
pendapat-pendapat tersebut.
3.
Dengan banyaknya
kitab-kitab fiqh, para ulama dengan
mudah bisa menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
4.
Dengan jatuhnya
Cordoba sebagai pusat Kebudayaan Islam di Barat tahun 1213 M dan kemudian
jatuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan islam di Timur tahun 1258 M, maka
berhentilah danyut jantung kebudayaan islam baik di Barat maupun di Timur.
b. Klasifikasi Mujtahid
Tidak ada sama
sekali ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, hanya saja mereka dalam
ijtihadnya selalu mengikatkan diri kepada mazhab yang ada, Atas dasar ini
kemudian timbul istilah-istilah seperti di bawah ini:
1)
Mujtahid Mutlak atau Mujtahid mustaqil atau Mujtahid fi
syar’i yaitu mujtahid yang mempunyai
metodologi yang mandiri dalam Istinbat hukum, mereka inilah imam-imam madzhab.
Seperti Abu Hanifah, Maliki, al-Syafi;i,dan Ahmad ibn Hanbal.
2)
Mujtahid Muntasib, yaitu para mujtahid yang mengikuti pendapat imam mazhab dalam usul atau
metode berijtihad , Akan tetapi hasil ijtihadnya (hukumfuru-nya) ada yang sama
dan ada yang berbeda dengan pendapat imam mazhab. Seperti al-Mujzani dalam
madzhab al-Syafi’i.
3)
Mujtahid fi al-Mazhab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzhab baik dalam usul maupun Furu’
hanya berbeda dalam penerapannya, Jadi hanya memperluas atau mempersempit
penerapan suatu yang telah ada dalam madzhabnya,seperti Al-Ghazali dalam
madzhab al-syafi’i.
4)
Mujtahud fi Al-Masail, yaitu mujtahid yang membatasi diri hanya berijtihad dalam hal-hal yang
belum diijtihadi oleh imam-imam mereka, dengan menggunakan metode imam-imam
mereka. Seperti al-Karhi di kalangan madzhab Hanafi dan Ibnu Arabia dikalangan
madzhab Maliki.
5)
Ahlu Takhrij, yaitu
Fuqoha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan memperjelas pendapat-pendapat
yang samar dan janggal yang ada dalam madzhabnya, seperti al-Jashosh dalam
madzhab Hanafi.
6)
Ahli Tarijh, yaitu
Fuqoha yang kegiatannya hanya menarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang
berbeda yang ada dalam madzhabnya .
Disamping itu bisa juga ditinjau dari sisi lain yaitu:
·
Mujtahid yang
mempunyai kemampuan dalam membentuk hukum dengan metodenya yang mandiri.
·
Mujtahid yang
mempunyai kemampuan berijtihad dalam batas-batas metode ijtihad imam mazhabnya.
·
Mujtahid yang hanya
berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam mazhabnya.
2.5
Periode Kebangunan Kembali
1. Tanda-tanda
Kemajuan
a). Di bidang
Perundang-undangan
Periode ini dimulai dengan masa berlakunya Majalah al-Ahkam al-Adliyah
yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam pemerintah Turki Usmani pada
tahun 1292 H atau tahun 1876 M. Baik bentuk maupun isi dari Kitab Undang-undang
tersebut berbeda dengan bentuk dan isi kitab fiqh dari satu madzhab tertentu. Bentuknya adalah bentuk dan isi
madzhab tertentu saja.Meskipun warna Hanafi sangat kuat.
b).
Di bidang Pendidikan
Cara mempelajari
fiqh tidak hanya di pelajari satu madzhab tertentu, tetapi juga secara
muqoronah atau perbandingan, di pelajari sistem Hukum Adat dan Sistem Hukum
Romawi. Di harapkan wawasan berpikir hukum di kalangan mahasiswa islam menjadi
lebih luas bukan hanya di bidang hukum keluarga tapi juga berbagai bidang hukum
lainnya. Sehingga terjadilah perpaduan yang harmonis sesuai dengan kebutuhan
waktu dan waktu khususnya di indonesia. Mempelajari ushul fiqh haruslah mendapat perhatian yang lebih memungkinkan Ilmu Fiqh berkembang lebih terarah,
karena itulah cara pemikiran hukum dalam islam.
c). DiBidang Penulisan Buku dalam Bahasa Indonesia dan
Penerjemahannya
Pemikiran kembali tentang fiqh sedang tumbuh dan
tampaknya pemikiran seperti ijtihad umar, Abdullah bin mas’ud, dan Abu Hanifah.
Yaitu berpegang teguh kepada dalil kulli, prinsip umum dan semangat ajaran,
bisa mengambil sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Demikian pula,
halnya dengan penerjemahan menampakkan kegiatan yang meningkat meskipun masih
sangat sedikit di bandingkan dengan kitab-kitab yang ada di Indonesia yang baik
untuk di terjemahkan.
2.Penilaian Dunia Internasional Terhadap Syari’ah Islam
Hubungan antara Agama dan Hukum, sebagai jalan untuk
sampai kepada pembicaraan Syari’ah Islam. Pada akhirnya Konferensi Pada ulan
agustus memutuskan antara lain :
Ø Hukum Islam sebagai salah satu sumber perundang-undangan
umum.
Ø Hukum Islam berdiri sendiri, tidak mengambil dari hukum
Romawi.
Ø Hukum Islam adalah hukum yang hidup dan dapat berkembang.
Pada bulan juli
1951, Mengingat adanya fleksibilitas di dalam hukum islam dan kedudukannya yang
sangat penting, maka persatuan pengacara internasional harus mengambil Hukum
Islam menjadi bahan perbandingan. Fakultas Universitas Paris yang di bahas
tentang penetapan hak milik, pemilikan oleh negara untuk kepentingan umum,
pertanggung jawaban pidana, pengaruh madzhab fiqh satu sam lain, dan teori
tentang Riba dalam islam. Pada akhirnya seminar tersebut memutuskan untuk:
§ Tidak di ragukan lagi bahwa prinsip-prinsip Hukum Islam
mempunyai nilai-nilai dari segi hukum.
§ Perbedaan pendapat dan madzhab-madzhab mengandung
kekayaan pengetahuan hukum yang menakjubkan
Oleh karena itu, Hukum Islam dapat memenuhi kebutuhan
hidup modern.[4]
BAB III
PENUTUP
3.1).
Kesimpulan
Perkembangan Ilmu
FIQH di adakan pembabakan atau periodesasi hukum Islam atas dasar ciri-ciri
khas dan hal yang menonjol pada suatu kurun waktu tertentu. Sejalan dengan
perkembangan ilmu fiqh, sistematikannya di bagi kepada lima periode yaitu:
1.
Periode Rasulullah
2.
Periode Sahabat
3.
Periode Imam-imam
Mujtahid
4.
Periode Kemunduran
5.
Periode Kebangunan
kembali
Di setiap periode menggunakan Sumber hukum Al-Qur’an,
Al-Sunnah, dan Ijtihad. Sebab mengalami kemunduran yang di akibatkan karena
kemunduran politik, Dengan di anutnya pendapat madzhab tanpa pikitran yang
kritis serta di anggap nya sebagai sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang
tidak mau meneliti kembali pendapat tersebut, Dengan kitab fiqh, para ulama
dengan mudah bisa menemukan jawaban terhadap masalah- masalah yang di hadapi,
Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat Kebudayaan Islam di Barat tahun 1213M dan
kemudian jatuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan Islam di Timur tahun 1258 M,
Maka berhentilah denyut jantung Kebudayaan Islam baik di Barat maupun di Timur.
Dan mengalami kebangunan kembali yang di tandai dengan kemajuan :
a)
Di bidang
Perundang-undangan
b)
Di bidang
Pendidikan
c)
Di bidang penulisan
Buku-buku dalam bahasa Indonesia dan Penerjemahan
d)
Penilaian Dunia
Internasioanal Terhadap Syari’ah Islam
Oleh karena itu,
Hukum Islam dapat memenuhi kebutuhan hidup modern,dan sesuai dengan
perkembangan zaman itu saling menyesuaikan
DAFTAR PUSTAKA
Ali Al-Sais: Tarikh
al-Tasyri al-Islami, Matba’ah Muhammad Ali Subhi, tanpa tahun.
Ali al-Sayis, Muhammad,Op.cit.,hal.35.
Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh
al-Madzhib Al-Fiqhiyah, Matba’ah Al-Madani, Kairo, tanpa tahun , hal.25.
Mansur, Ali. 1973. Al-Syari’ah
Al-Islamiyah Wa Al-Qonun Al-Dauli Al-‘Am. Jakarta: Bulan Bintang.Cetakan I.
[4] Ali Mansur, Ali Prof.DR. Al-Syari’ah Al-Islamiyah Wa Al-Qonun
Al-Dauli Al-‘Am,alih bahasa: Muhammad Zaen Hasan dengan judul: Syari’ah
Islam dan Hukum Internasional Umum, Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan I, 1973.
Hal 17-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar